drop down

21 Oktober 2012

Sejarah Tegalsari yang jauh dari politik


Sejarah dan cerita yang berkaitan dengan Masjid Tegalsari telah banyak  ditulis dan diunggah, namun ada bagian tertentu yang menarik bagi saya terutama kiprah kyai-kyai Tegalsari sebagai ulama yang menjauhkan diri dari gelanggang politik dan kekuasaan meski punya bargaining position di area itu

Sebagaimana kita ketahui sejarah Tegalsari merupakan salah satu bagian yang tak tepisahkan dari Ponorogo, selain sejarah Wengker dan Kadipaten Ponorogo yang didirikan Batoro Katong.  Bahkan sejarah Tegalsari telah menjadi bagian sejarah Islam Jawa dan menjadi salah satu panutan muslim khususnya yang berpaham moderat dan tradisional, tak terkecuali waktu Gus Dur menjabat Presiden RI beberapa kali beliau singgah di kompleks Masjid yang miniaturnya dibuat di Jatim Park tersebut. Gus Dur sendiri masih keturunan Kyai Ageng Mohammad Besari.

Pada tahun 1742 keraton Surakarta diserang gerombolan pemberontak, Sultan Pakubuwono II mengungsi ke daerah Ponorogo dan bermukim sementara di Tegalsari. Akhirnya dengan bantuan Kyai Ageng Mohammad Besari dengan santrinya keraton Surakarta bisa direbut kembali tahun 1743. Sebagai balas budi atas jasa yang besar terhadap keraton Surakarta, Pakubuwono II menawarkan jabatan Bupati kepada sang kyai. Namun dengan halus Kyai Ageng Mohammad Besari menolaknya karena lebih mementingkan kegiatannya dalam mendidik para santri di pesantrennya.

Hal yang kurang lebih sama juga dialami sang cucu yaitu Kyai Ageng Kasan Besari. Pada waktu itu Pesantren Tegalsari telah berkembang menjadi pesantren yang besar dengan santri mencapai lebih dari 1000 orang, yang berasal tidak hanya dari Ponorogo tapi dari luar Ponorogo bahkan luar Jawa. Seperti juga sang kakek dan ayah yaitu Kyai Ilyas, Kyai Ageng Kasan Besari selain sebagai pengasuh pesantren juga menjabat sebagai lurah desa Tegalsari. Saat itu diterapkan syari’at Islam di desa tersebut, manakala ada yang mencuri maka hukumannya dipotong tangannya.

Mendengar hal tersebut Sultan Pakubuwono IV, memanggil dan menghukumnya karena dianggap melanggar aturan kerajaan. Kyai Ageng Kasan Besari rencananya akan dibuang ke luar Jawa tapi anehnya setiap kapal yang akan mengangkut beliau berlayar dari Jakarta mesti tidak bisa jalan begitu beliau naik. Hal tersebut terjadi  berulang-ulang, sampai akhirnya kembali di tahan di keraton Surakarta tapi ditempatkan di Masjid sambil diborgol tangannya. Para santrinya banyak menjenguk begitu tahu sang Kyai kembali ke Keraton. Kyai Ageng Kasan Besari bisa saja melepaskan diri dari borgol yang mengikatnya mengingat ilmunya yang sangat tinggi, tetapi hal itu tidak dilakukan karena beliau sadar hal tersebut sudah ketentuan dari-Nya.

Suatu saat keraton mengadakan Sholawatan, Kyai Ageng Kasan Besari ditunjuk sebagai imamnya. Suara beliau yang bagus membuat salah satu putri Pakubuwono IV terpikat kepadanya. Singkat cerita sang raja mengampuni kesalahannya dan menikahkan dengan putrinya. Tetapi Kyai Ageng Kasan Besari bukanlah tipe manusia yang haus akan kedudukan meski menjadi menantu seorang raja, beliau tidak meminta kedudukan atau jabatan yang tinggi. Beliau tetap kembali ke Tegalsari dengan memboyong istrinya dan tetap mengabdikan dirinya untuk menjadikan santri-santrinya menjadi insan yang taqwa dan punya bekal ilmu agama yang cukup sehingga kelak santri-santrinya menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dari sosok dua kyai tersebut bisa kita gambarkan pola pikir yang tidak mencintai hal-hal bersifat materialistis dan keduniawian secara berlebihan dan tetap komitmen mengajarkan kebaikan kepada orang lain. Beliau berdua tidak mau masuk area politik dan kekuasaan meski kesempatan itu ada. Mungkin beliau-beliau ini sadar politik kerajaan sejak Jaman Ken Arok bahkan jaman sebelumnya selalu diwarnai trik-trik kotor dan selalu menjadikan rakyat sebagai korbannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar