drop down

16 Juni 2012

Kisah Xiao Fang


Hari itu adalah hari ulang tahun Xiao Fang yang ke-20. Kakek dan neneknya turut merayakan ulang tahunnya dengan suka cita. Tapi dalam suasana yang seharusnya penuh keceriaan itu, Xiao Fang tetap saja merasa gelisah dan terus menunggu kedatangan tukang pos. Dia tahu bahwa ibunya pasti akan mengirimkan surat untuk mengucapan selamat ulang tahun dari Amerika Serikat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Dalam ingatan Xiao Fang, kakek nenek menjelaskan bahwa ibunya telah pergi ke Amerika untuk bekerja sejak usia Xiao Fang masih sangat kecil. Dalam sisa-sisa ingatannya yang kabur, Xiao Fang ingat bahwa ibunya dulu pernah memeluknya dengan hangat, dan dengan matanya yang bulat dan besar, memandangnya dengan penuh cinta kasih. Saat itu selalu Xiao Fang simpan dalam memorinya yang terkadang muncul dalam mimpi.
Tapi ingatan Xiao Fang tentang masa bahagia itu makin kabur. Selalu ada rasa rindu dan benci yang bertolak belakang, di mana Xiao Fang selalu tak bisa mengerti mengapa ibunya tega pergi jauh dan meninggalkannya. Dalam ingatannya, ibu adalah seseorang yang gagal pernikahannya, meninggalkannya, dan tak bertanggung jawab. Sewaktu Xiao Fang masih kecil, setiap ia rindu pada ibunya, ia selalu meminta pada kakek neneknya diajak ke Amerika untuk mencari ibu. Dengan mata berlinang, kakek neneknya selalu menjawab, “Ibumu sibuk bekerja di Amerika. Ibumu juga selalu merindukanmu, tapi dia juga mempunyai kesulitannya sendiri sehingga tak bisa menemanimu. Xiao Fang, maafkanlah ibumu yang malang itu. Kamu pasti akan mengerti suatu hari nanti.”
Xiao Fang masih saja menanti surat berisi ucapan selamat ulang tahun yang ke-20 dari ibunya. Ia membuka kotak di mana ia menyimpan semua surat dari ibunya sejak dulu. Dari tumpukan surat itu, ia mengambil satu yang warnanya sudah mulai menguning. Surat itu dikirim ibu waktu Xiao Fang berusia 6 tahun dan baru masuk taman kanak-kanak: “Di taman kanak-kanak pasti ada banyak anak seumurmu yang akan menemanimu bermain. Xiao Fang harus baik-baik dengan mereka, pakai baju yang rapi, rambut dan kuku harus digunting yang rapi dan dijaga kebersihannya.” Surat berikutnya datang pada saat Xiao Fang berusia 16 tahun, saat ia baru mau masuk SMA: “Berusahalah sebaiknya pada saat ujian masuk, perkembangan selanjutnya tergantung dari kemampuan dan kegigihanmu, sehingga kelak Xiao Fang bisa bersaing dan menonjol dalam masyarakat.” Dalam setiap pucuk surat, tersirat kasih sayang ibunya yang tak cukup dirangkai dalam kata-kata dan tak ada habisnya. Dalam pertumbuhannya, Xiao Fang sangat bergantung pada surat-surat yang telah ia kumpulkan selama belasan tahun ini, sebagai satu-satunya ikatan batin dengan ibunya. Dalam malam-malam di mana Xiao Fang sangat merindukan ibunya, ia memeluk erat kotak tempat ia menyimpan  surat-surat tersebut sambil menangis dan memanggil nama ibunya. “Ibu, di mana kau berada? Apakah ibu tahu betapa Xiao Fang rindu pada ibu? Mengapa ibu tak kunjung datang menjenguk, bahkan tak meninggalkan nomor telepon? Dunia ini sangat luas, beri tahu aku di mana harus mencari ibu.”
Akhirnya pak pos datang mengantar surat ibu yang ke-72. Sama seperti sebelumnya, Xiao Fang buru-buru membukanya. Kakeknya juga dengan tegang mengikuti Xiao Fang dari belakang, seperti telah merasakan bahwa suatu hal yang mengejutkan akan terjadi. Surat ini terlihat lebih lusuh dan kuning dibanding beberapa surat yang datang sebelumnya. Xiao Fang kaget melihatnya. Ia merasa ada hal yang aneh pada surat itu. Dalam surat itu, tulisan tangan ibunya tidak seindah dan serapi biasanya, tapi miring-miring dan sedikit kabur.
“Xiao Fang, maafkan ibu karena ibu tak bisa menghadiri perayaan ulang tahunmu yang ke-20 ini. Ibu sebenarnya sangat ingin hadir dalam setiap peringatan hari ulang tahunmu. Tapi, seandainya kau tahu bahwa rejak kau berusia 3 tahun, ibu telah meninggal dunia karena kanker lambung, maka kau akan mengerti mengapa ibu tak bisa menemanimu selama ini. Tolong maafkan ibumu yang malang ini. Sejak ibu tahu tentang penyakit ini, setiap kali mendengar kau menyebut “ibu, ibu,” melihat wajah lucumu setiap kau di dalam buaianku, ibu sangat benci pada nasib yang tak memungkinkan ibu melihat pertumbuhanmu. Ini adalah hal yang paling ibu sesali dalam hidup yang pendek ini. Ibu tak takut mati tapi selalu terpikir bahwa sebagai seorang ibu yang mempunyai tanggung jawab dan naluri untuk membimbingmu dan mengajarimu banyak hal yang harus kau ketahui sepanjang proses pertumbuhan, sama seperti ibu-ibu lainnya yang ingin memastikan agar anaknya bisa tumbuh dengan bahagia, tapi bedanya, ibu tak punya kesempatan ini. Yang bisa ibu lakukan dalam hari-hari terakhir ibu adalah membayangkan hal-hal yang sekiranya akan kau hadapi sepanjang proses pertumbuhan, dan dengan sisa semangat dan tenaga yang ada, hari demi hari sambil menangis ibu menulis ketujuh puluh dua pucuk surat ini, lalu meminta pamanmu yang di Amerika untuk mengirimkannya pada hari-hari penting dalam hidupmu sebagai tanda betapa ibu merindukanmu.  Walau ibu telah meninggal, tapi surat-surat ini masih dapat mengikat hubungan kita. Saat ini, sambil melihatmu yang sedang main-main dengan surat yang telah ibu tulis, dengan menahan sedih ibu melanjutkan: “Xiao Fang kecil tak mengetahui bahwa hidup ibunya hanya tinggal beberapa hari lagi, tak tahu bahwa surat-surat ini akan kau baca pelan-pelan selama 17 tahun ke depan. Xiao Fang harus tahu bahwa ibu amat mencintaimu, sangat berat untuk meninggalkanmu seorang diri. Dengan sisa tenaga ini, ibu hanya bisa  membayangkanmu di saat berusia 20 tahun nanti. Ini adalah surat terakhir ibu. Ibu sudah tak bisa meneruskan lagi, tapi cinta ibu untukmu melebihi hidup dan mati, untuk selamanya.”
Membaca ini, kesedihan Xiao Fang tak bisa terbendung lagi. Sambil memeluk erat kakek neneknya, ia menangis. Surat itu terlepas dari tangannya. Terjepit di dalam surat itu sepucuk foto yang sudah menguning. Di dalam foto itu terdapat ibunya yang tersenyum lemah sambil memandang Xiao Fang kecil yang jari-jari kecilnya sedang menggenggam setumpuk surat. Di belakang foto ada tulisan tangan ibu: “Selamat ulang tahun, Xiao Fang! 1997.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar